Elizabeth Taylor adalah sebuah nama diva Hollywood legendaris, tapi juga jadi judul lagu kedua di album terbaru Taylor Swift, The Life of a Showgirl.
Di sini, Taylor nggak sekadar nyanyi tentang glamor dan cinta, tapi kayak lagi “cosplay” jadi Elizabeth Taylor—seorang ikon yang hidupnya dipuja sekaligus dihakimi dunia.
Melalui liriknya, Taylor bercerita tentang gimana rasanya mencintai di bawah lampu sorot, ketika semua orang menatap dan mengomentari setiap gerakmu. Ceritanya bukan cuma tentang dia, tapi tentang kita semua yang pernah tampil “sempurna” padahal nyimpan luka di balik kilau.
Table of Contents
Makna Lagu “Elizabeth Taylor” – Cinta, Publik, dan Ketakutan Jadi Abadi

Kamu pernah nggak sih ngerasa cinta itu manis, tapi juga bikin deg-degan karena semua orang ngelihat? Nah, lewat lagu Elizabeth Taylor, Taylor Swift ngajak kamu masuk ke dunia di mana cinta, ketenaran, dan ketakutan buat bertahan selamanya saling bertabrakan.
Di sini, Swift seolah ngobrol langsung sama sang ikon Hollywood, Elizabeth Taylor, buat nyari jawaban tentang apa artinya mencintai di bawah sorotan dunia.
1. Pertanyaan Abadi: “Do You Think It’s Forever?”
Di bagian ini, Taylor Swift bener-bener ngebuka isi hatinya. Lirik “Do you think it’s forever?” kedengarannya sederhana, tapi dalam banget. Swift kayak lagi nanya ke Elizabeth Taylor, “Gimana caranya tahu cinta itu akan bertahan ketika semua orang ikut campur?”
Sentuhan ini terasa personal, apalagi kalau kamu tahu Taylor Swift lagi bahagia dengan Travis Kelce, tapi tetap dihantui pikiran: apakah cinta bisa langgeng di tengah gemerlap dan gosip yang nggak pernah padam? Sama kayak Elizabeth Taylor dulu, yang menikah delapan kali demi terus mencari arti cinta yang sejati.
2. Terjebak di Sorotan: Harga dari Keternaran
Sebelum lanjut ke bagian ini, siap-siap, karena kita bakal nyentuh sisi paling jujur dari Taylor Swift. Di lagu Elizabeth Taylor, dia jujur banget soal capeknya jadi figur publik. Swift bilang, “Oftentimes it doesn’t feel so glamorous to be me,” kalimat yang bisa bikin kamu sadar kalau di balik glitter dan karpet merah, ada rasa sepi yang nggak bisa ditutupi.
Ketika dia nyanyi, “All the right guys promised they’d stay… under bright lights they withered away, but you bloom,” kamu bisa ngerasain perbedaan besar dari kisah cinta masa lalunya. Bedanya, kali ini dia nemu seseorang yang bisa tumbuh bersama, bukan hilang karena tekanan spotlight.
3. Saudara Seperjuangan di Dunia Glamour
Nah, di bagian ini, Taylor Swift kayak lagi ngaca dan ngelihat sosok Elizabeth Taylor di balik pantulan dirinya sendiri. Dua-duanya sama-sama tumbuh di depan kamera, dihujani pujian sekaligus kritik.
Swift nyebut Elizabeth Taylor sebagai sosok “glamorous, very beloved, but for some reason a polarizing figure” — dan deskripsi itu bisa banget berlaku buat dirinya sendiri.
Keduanya paham gimana rasanya dicintai sekaligus diserang, dijadikan ikon sekaligus sasaran gosip. Elizabeth Taylor bukan cuma tokoh panutan buat Swift, tapi juga sahabat spiritual yang ngerti banget dunia yang sama-sama mereka huni.
4. Dari “Burton to this Taylor” hingga Legacy Baru
Sekarang, kita sampai di bagian paling “meta”. Buat Swifties sejati, referensi ke Elizabeth Taylor dan Richard Burton bukan hal baru. Di lagu lamanya, …Ready for It?, Swift pernah nyebut “Burton to this Taylor” — dan di Elizabeth Taylor, kisah itu berlanjut.
Swift kayak lagi ngehidupin lagi cinta legendaris itu, tapi dengan cara yang lebih matang dan reflektif. Kalau dulu kisah Taylor–Burton penuh drama dan gairah yang membakar, versi Swift lebih tenang, lebih sadar, tapi tetap penuh emosi.
Lewat lagu ini, Taylor Swift seolah bilang: legenda nggak harus diulang, cukup dimaknai ulang. Dan dari situ, lahir warisan baru — bukan cuma untuk Elizabeth Taylor, tapi juga untuk dirinya sendiri sebagai storyteller yang tahu gimana mengubah kisah lama jadi refleksi hidup modern.
Baca Juga, Yah! Makna Ganda “Wood” Taylor Swift: Antara Keberuntungan dan… You Know What
Siapa itu Elizabeth Taylor di Lagu Ini?

Lagu Elizabeth Taylor terasa seperti surat cinta yang disamarkan dalam metafora. Setiap barisnya membawa kamu jalan-jalan ke masa lalu sang ikon, sambil menelanjangi sisi rapuh Swift sendiri. Dua dunia, dua Taylor, satu pesan: di balik gemerlap dan berlian, selalu ada kisah manusia yang ingin dimengerti.
1. Portofino dan Plaza Athénée – Romansa yang Terukir di Peta
Swift nyanyi, “That view of Portofino was on my mind when you called me at the Plaza Athénée.”
Di sini, ia ngasih penghormatan manis buat Elizabeth Taylor dan Richard Burton. Portofino adalah tempat Burton pertama kali ngelamar Taylor di tahun 1964, sementara Plaza Athénée di Paris jadi rumah cinta mereka selama enam bulan di tahun 1971. Dua lokasi ini nggak cuma romantis, tapi simbol betapa cinta mereka selalu dalam sorotan dunia.
2. “I’d Cry My Eyes Violet” – Warna yang Jadi Legenda
Kalimat “I’d cry my eyes violet, Elizabeth Taylor” terdengar indah tapi nyesek. Elizabeth Taylor terkenal banget karena warna matanya yang unik, sering dibilang “violet.” Swift memakainya sebagai metafora buat kesedihan yang tetap terlihat memesona—kayak air mata di balik kacamata berlian.
3. White Diamonds dan Cinta yang Tak Lekang
Lirik “All my white diamonds and lovers are forever” langsung bikin Swifties senyum paham. Ini mengacu pada White Diamonds, parfum legendaris Elizabeth Taylor yang meledak di era ’90-an. Tapi di balik kilau itu, Swift menyiratkan pesan: kemewahan bisa abadi, tapi hati manusia? Belum tentu.
4. Booth Terbaik di Musso & Frank’s – Jejak di Kota Bintang
Waktu Swift nyanyi “We hit the best booth at Musso & Frank’s,” dia lagi ngebawa kita ke restoran ikonik di Los Angeles yang udah berdiri sejak 1919. Tempat ini sering jadi markas selebritas klasik, dan Elizabeth Taylor pun langganan nongkrong di sana. Sentuhan nostalgia yang bikin lagu ini berasa sinematik banget.
5. Cartier dan Kepercayaan yang Mahal

“I would trade the Cartier for someone to trust.”
Baris ini tajam banget. Cartier memang rumah perhiasan yang bikin sebagian besar koleksi Taylor—tapi Swift memutar maknanya. Ia seolah bilang, “Percuma punya semua berlian kalau nggak ada yang benar-benar jujur.” Dalam dunia yang penuh kemewahan, kepercayaan jadi barang paling langka.
6. The Girl Who Had Everything – Ironi Sang Bintang
Swift nyindir halus lewat “What could you possibly get for the girl who has everything and nothing all at once?”
Kalimat ini nyenggol film The Girl Who Had Everything (1953), yang dibintangi Elizabeth Taylor. Tapi lebih dari itu, Swift menangkap ironi kehidupan seorang ikon—terlihat punya segalanya, padahal sering merasa kosong.
7. “Be My NY When Hollywood Hates Me” – Pelarian ke Timur
Di sini, Swift mengacu pada masa ketika Elizabeth Taylor menjauh dari Hollywood dan menetap di New York. Ia menulis itu bukan buat nostalgia, tapi sebagai metafora: semua orang butuh tempat aman ketika dunia mulai berbalik arah. Bagi Swift, baris ini adalah pengingat bahwa cinta sejati harus bisa jadi rumah, bukan panggung.
8. “In the Papers, on the Screen, and in Their Minds” – Keabadian Sang Ikon
Kalimat ini kayak potret abadi Elizabeth Taylor: ada di berita, di layar, dan di ingatan publik. Swift ngerti banget gimana hidup di dunia yang selalu mengamati. Lirik ini jadi pengakuan kecil—ketenaran bisa jadi berkat sekaligus beban, dan keduanya nggak bisa dipisahkan.
9. “It Doesn’t Feel So Glamorous to Be Me” – Cermin dari BUtterfield 8
Terakhir, Swift menutup dengan refleksi yang terasa pribadi. Kalimat ini pertama kali muncul di event promosi lagu, ditulis pakai lipstik di cermin—mengingatkan pada adegan film BUtterfield 8 (1960) saat Elizabeth Taylor menulis “No Sale” di kaca. Simbol dari wanita yang lelah diperjualbelikan citranya, tapi tetap berdiri anggun di depan dunia.
Baca Juga, Yah! Wi$h Li$t Taylor Swift: Bukan Soal Harta, Tapi Soal Hati Boss!
Dua Taylor, Satu Cermin Kehidupan
Elizabeth Taylor adalah refleksi jujur tentang perempuan yang tumbuh di bawah tatapan dunia. Taylor Swift menulis dari sudut pandang yang rapuh tapi berani—menggandeng bayangan Elizabeth Taylor untuk menggambarkan cinta, tekanan, dan keinginan untuk tetap manusia di tengah gemerlap panggung.
Lagu ini menyatukan dua kisah berbeda zaman, tapi dengan luka dan keindahan yang terasa sama. Buat kamu, LemoList, lagu ini bisa jadi pengingat kalau di balik semua citra dan pencapaian, selalu ada ruang kecil untuk jadi diri sendiri.
Kalau kamu suka cara Swift membungkus emosi dalam kisah penuh simbol dan nostalgia, yuk, eksplor lebih banyak makna tersembunyi dari karya-karya lainnya—siapa tahu, kamu nemu potongan cerita dirimu di Lemo Blue!