Film La La Land menceritakan tentang dua orang penuh mimpi di tengah kota Los Angeles

Nyesek Maksimal! Review Film La La Land yang Bikin Nangis

Film La La Land bukan sekadar musikal romantis biasa, melainkan potret menyakitkan tentang cinta dan mimpi yang tak selalu bisa berjalan seiring. Banyak penonton merasa film ini begitu menyayat karena akhirnya yang pahit namun jujur. Nyesek banget sih emang.

Artikel ini membedah kenapa film ini begitu menyentuh hati, mengapa ending-nya terasa menghukum harapan, dan bagaimana kita bisa melihat diri kita sendiri dalam perjalanan cinta dan karier dua tokoh utamanya. Cuss bahas!

La La Land Menceritakan Tentang Apa, Sih?

La La Land adalah film musikal modern yang mengambil estetika klasik Hollywood

Film La La Land menceritakan tentang dua orang penuh mimpi di tengah kota Los Angeles, Mia, seorang aktris yang gigih mencari panggungnya sendiri, dan Sebastian, seorang pianis jazz yang memimpikan klub musik idealis versi dirinya. 

Film ini tidak hanya mengajak penonton menyelami cinta mereka, tapi juga menyodorkan satu realita: mimpi dan cinta, seindah apa pun, tidak selalu bisa berjalan beriringan. 

Disutradarai oleh Damien Chazelle, La La Land adalah film musikal modern yang mengambil estetika klasik Hollywood dan membungkusnya dalam narasi yang jujur dan relevan dengan kehidupan generasi sekarang. 

Film ini menyampaikan bahwa dalam perjalanan menuju kesuksesan, kita mungkin harus meninggalkan orang yang paling kita cintai. Dan mungkin… justru di situlah letak “nyesek”-nya.

Baca Juga, Yah! The Silence of The Lambs Sinopsis dan Penjelasan Akhir Cerita 

Antara Mimpi dan Cinta yang Tak Bisa Sebaris

Dari awal pertemuan yang tak menyenangkan di tengah kemacetan LA, hubungan Mia dan Sebastian berkembang seperti simfoni yang lembut. Mereka saling mendukung, Sebastian mendorong Mia untuk menulis dan mementaskan naskahnya sendiri, sementara Mia menyemangati Sebastian untuk membuka klub jazz idealis yang dia impikan.

Tapi pertanyaan besar pun muncul: “Apa yang terjadi ketika dua orang yang saling mencintai mulai tumbuh ke arah yang berbeda?

Mia mulai mendapat peluang akting di luar kota. Sebastian terpaksa kompromi dengan idealismenya dan bermain di band modern demi gaji tetap. Kisah cinta mereka perlahan terkikis bukan karena pengkhianatan, tapi karena realita yang diam-diam menggerus waktu dan perhatian.

Mereka sibuk mengejar dunia masing-masing, dan ironi pun terjadi, apa yang dulu menyatukan mereka (ambisi), kini justru jadi penyebab perpisahan mereka.

Buat calon filmmaker, inilah pelajaran penting dari La La Land:  Konflik cinta bukan selalu soal orang ketiga. Kadang justru mimpi sendiri bisa menjadi antagonis dalam hubungan.

Chemistry Sebagai Mimpi Itu Sendiri: Mia dan Sebastian

Sebastian dan Mia tidak sempurna, mereka tidak selalu saling mengerti, bahkan kerap berdebat soal arah hidup masing-masing. Tapi justru di situlah kekuatan chemistry mereka. Film ini berhasil menampilkan hubungan yang “terasa nyata”, dibangun dari dialog yang jujur, ekspresi tanpa kata, dan scoring lembut yang menyatukan suasana.

Emma Stone dan Ryan Gosling membawa karakter mereka bukan hanya lewat akting, tapi juga melalui gesture kecil, improvisasi alami, dan musik. Fun fact yang bikin kagum: Gosling benar-benar belajar piano untuk peran ini. 

Nggak ada hand double sama sekali. Sementara Stone, yang menulis ulang emosinya dari pengalaman audisi dunia nyata, menyampaikan ketegangan dan ketakutan Mia dengan kejujuran yang mentah.

Sebagai calon filmmaker, kamu bisa belajar bagaimana performa aktor bisa “menceritakan banyak” tanpa terlalu banyak dialog. Emosi lah yang membangun narasi.

Dan dalam La La Land, emosi itu dibangun dari rasa saling percaya dua karakter yang saling menyalakan mimpi satu sama lain, sampai akhirnya harus membiarkannya padam demi membiarkan cahaya masing-masing menyala terang.

Ending yang Tidak Harus Bahagia, Tapi Jujur

Di titik akhir cerita, Mia yang kini sukses sebagai aktris ternama, secara tak sengaja masuk ke klub jazz milik Sebastian. Mereka tak bicara banyak. Hanya tatapan.
Sebastian memainkan lagu lama mereka. Lalu… kita dibawa ke dunia fantasi.

Bayangkan, what if mereka menikah. Punya anak. Sukses bersama. Semua terasa seperti film musikal klasik, hingga akhirnya, realita menyela.

Ternyata itu hanya lamunan. Sebuah mimpi yang tidak terjadi. Tapi senyuman Mia di akhir film dan tatapan Sebastian di balik piano berkata banyak:  “Aku bahagia kita pernah saling mendorong. Walau akhirnya bukan untuk bersama.

Ending ini pahit, tapi justru karena kejujurannya, film ini jadi begitu menyentuh. Tidak dipaksakan happy, tapi juga tidak sepenuhnya tragis. Hanya… manusiawi.  Dan itulah kekuatan utama La La Land, ia tidak takut jujur tentang kenyataan hidup.

Sebagai penonton, kita belajar melepaskan. Dari sini kita belajar bahwa: 

 Ending tidak harus menyenangkan, tapi harus punya kebenaran emosional.

Baca Juga, Yah! Review Film Ziam Netflix: Lawan Zombie Pakai Muay Thai

Sinematografi La La Land: Romantis, Pahit, dan Penuh Ilusi yang Dirancang Sempurna

Stok film apa yang digunakan untuk La La Land

Sinematografer berhasil menyulap Los Angeles menjadi panggung musikal penuh harapan sekaligus kenyataan yang pahit. Karyanya bukan hanya memenangkan Piala Oscar, tapi juga membekas di ingatan banyak penonton dan jadi referensi penting untuk para calon filmmaker. Nah, kalau mau tau kamera apa yang digunakan untuk memfilmkan La La Land, ini jawabannya: 

Romansa dan Pahitnya Mimpi dalam Sinematografi La La Land

Linus Sandgren dan Damien Chazelle menciptakan sebuah sinergi visual yang luar biasa. Mereka membingkai mimpi dua karakter utamanya (Emma Stone) dan (Ryan Gosling) dalam lanskap kota Los Angeles yang nyaris seperti lukisan. Tapi ini bukan hanya soal estetika. Setiap frame dirancang untuk menggambarkan emosi dan dinamika hubungan keduanya.

Coba perhatikan saat kisah cinta mereka sedang mekar, warna-warna cerah dan langit senja memenuhi layar. Tapi saat konflik mulai muncul, visual pun perlahan berubah lebih dingin dan sunyi. Pergeseran warna dan cahaya menjadi metafora visual untuk perjalanan emosional mereka.

Dan yang lebih menarik, ini bukan hal yang kebetulan. Saat Mia dan Sebastian mulai menghadapi kenyataan bahwa mimpi dan cinta tak selalu bisa jalan beriringan, lanskap kota yang tadinya memukau berubah jadi lebih sunyi, kering, dan biasa. Ini adalah cara film memperlihatkan bahwa realita bisa mengusir keindahan, bahwa mimpi kadang harus dibayar mahal.

Warna, Cahaya, dan Gerak Kamera yang Bicara Lebih dari Dialog

Salah satu kekuatan utama di film La La Land adalah kemampuannya untuk bercerita melalui visual. Bahkan saat tak ada dialog, kamera, warna, dan cahaya seolah berbicara, menggambarkan perasaan para karakternya.

Palet Warna: Cerita dalam Setiap Nuansa

Film ini menggunakan palet warna primer (merah, biru, dan kuning) sebagai motif visual. Warna-warna ini tidak hanya cantik, tapi punya fungsi naratif. Di awal, Mia sering mengenakan gaun warna cerah seperti kuning atau biru, merepresentasikan harapan dan semangatnya mengejar mimpi. 

Tapi seiring waktu, warnanya berubah lebih redup, mencerminkan rasa letih dan kekecewaan. Adegan pembuka “Another Day of Sun” misalnya, menggambarkan para pendatang di LA yang mengejar impian mereka, penuh semangat, penuh warna. 

Tapi justru di tengah kemacetan jalan raya. Kontras ini memperlihatkan bahwa mimpi kadang hidup di tempat yang membosankan dan melelahkan.

Pencahayaan: Dari Romansa ke Realita

Sinematografi Sandgren juga memainkan cahaya seperti alat musik. Cahaya hangat (golden hue) digunakan di momen romantis, seperti saat Mia dan Sebastian berjalan-jalan di bawah langit senja dalam “A Lovely Night”. 

Tapi ketika mereka mulai berjarak, film mulai bermain dengan warna biru dingin dan pencahayaan keras yang membuat semuanya terasa nyata dan menyakitkan.

Salah satu adegan paling memesona adalah di observatorium. Di sana, pencahayaan menjadi halus dan magis, menciptakan sensasi seperti sedang bermimpi. Adegan ini bahkan terasa seperti lukisan hidup, sebuah ruang imajinasi tempat cinta seolah abadi, walau kita tahu itu hanya sementara.

Sandgren juga banyak menggunakan lens flare secara sengaja, seperti saat Sebastian bermain piano di apartemen atau di bioskop tua. Flare ini bukan gangguan, tapi justru alat ekspresi untuk menunjukkan bagaimana karakter memandang dunia, penuh keajaiban, walau sebentar.

Gerak Kamera: Mengalir Seperti Tarian

Gerakan kamera dalam La La Land nyaris seperti karakter ketiga yang ikut berdansa. Dari awal film, kamera bergerak lincah, sweeping, tracking, hingga whip pan, menciptakan kesan bahwa kita ikut dalam mimpi para tokohnya.

Perhatikan adegan “A Lovely Night”, kamera bergerak bersama tarian Mia dan Sebastian, memperkuat irama emosional mereka. Tapi saat konflik mulai muncul, kamera menjadi lebih statis dan tajam, menunjukkan ketegangan dan stagnasi hubungan mereka.

Teknik blocking pun digunakan cermat. Misalnya, saat hubungan mereka dekat, kamera akan menempatkan mereka dalam satu bingkai, sering kali di tengah frame. Tapi saat konflik, mereka ditempatkan di ujung-ujung frame atau bahkan terpisah oleh objek visual, menandakan jarak emosional yang mulai muncul.

Kamera dan Lensa: Kenapa La La Land Terlihat “Klasik tapi Kekinian”?

Kamera apa yang digunakan untuk memfilmkan La La Land

Untuk kamu yang tertarik pada aspek teknis sinematografi, La La Land adalah contoh sempurna tentang bagaimana alat bisa mendukung estetika dan narasi. Film ini menggunakan kamera Aaton A-Minima dan Panavision Panaflex Millennium XL2, dua jenis kamera film yang memberikan tampilan khas yang sulit ditiru oleh kamera digital.

Yang paling menarik adalah pemilihan lensa. Sandgren memakai Panavision C Series dan E Series anamorphic lenses, termasuk C35, C50, E35, dan E50, untuk menangkap gambar dengan aspek rasio lebar dan distorsi khas yang membuat gambar terasa dreamlike

Efek ini sangat terasa saat adegan-adegan musikal atau mimpi, memberi kedalaman tanpa terasa terlalu “sintetis”. Salah satu lensa favorit mereka adalah Panavision E50 50mm T2.0, digunakan untuk adegan-adegan magis.

 Lensa ini menghasilkan distorsi halus di tepi frame, membuat dunia dalam film terasa sedikit “tidak nyata”, cocok untuk menggambarkan batas antara mimpi dan kenyataan.

Stok Film: Menangkap Emosi Lewat Butiran Film

Saat banyak film memilih kamera digital untuk efisiensi. Tapi, kamera apa yang digunakan untuk memfilmkan La La Land? Film ini justru memilih jalan berbeda: menggunakan film 35mm dari Kodak Vision3. Beberapa jenis yang digunakan antara lain Kodak Vision3 250D 5207 dan Kodak Vision3 500T 5219.

Keputusan ini bukan cuma soal nostalgia, tapi karena film menangkap warna dan cahaya dengan cara yang lebih organik, memberikan tekstur lembut yang memperkuat nuansa emosional. Bahkan saat film beralih dari harapan ke kekecewaan, butiran film tetap menghadirkan kehangatan yang membuat kita tetap terhubung dengan para karakter.

Stock cetak akhir yang digunakan adalah Kodak Vision Color 2383, yang memperkuat kesan sinematik klasik dan menjaga kualitas warna tetap konsisten dari awal hingga akhir.

Soundtrack dan Musik: Harusnya Dilarang Sebagus Ini

soundtrack film La La Land

Salah satu kekuatan terbesar film La La Land terletak pada bagaimana musiknya menyatu dengan cerita, bukan hanya sebagai pelengkap, tetapi sebagai jiwa dari setiap emosi yang kita rasakan. 

City of Stars dan Another Day of Sun. Nadanya Bahagia, Rasanya Luka

Kalau kamu mendengarkan “City of Stars” dengan mata tertutup, kamu bisa membayangkan lampu-lampu Los Angeles yang temaram, harapan yang belum jadi kenyataan, dan sepasang kekasih yang saling mendukung tapi tidak bisa bersatu. 

Lagu ini jadi semacam jantung emosional film La La Land. Dengan nada minor dan lirik yang sederhana, “City of Stars” membawa rasa rindu yang pelik, tentang cinta, tentang ambisi, dan tentang realita.

Sebaliknya, “Another Day of Sun” dibuka dengan ledakan energi. Tarian massal di tengah kemacetan freeway LA menjadi perayaan para pemimpi. Tapi kalau kamu perhatikan liriknya, lagu itu bukan cuma tentang harapan. Ia juga bicara tentang patah hati yang datang ketika mimpi itu gagal. It’s a perfect contradiction: nadanya bahagia, tapi maknanya luka.

Komposer Justin Hurwitz dan Sihirnya

Kalau ada satu orang yang pantas disebut “penyihir di balik layar”, itu adalah Justin Hurwitz. Komposer ini adalah teman kuliah Damien Chazelle dan sudah berkolaborasi sejak mereka membuat film pendek bareng di Harvard. Hurwitz tidak hanya membuat musik pengiring biasa, dia menulis skor yang tumbuh bersama karakter-karakternya.

Untuk La La Land, Hurwitz menciptakan tema-tema musikal yang muncul berulang sepanjang film, seperti motif musik klasik. Misalnya, tema yang kita dengar saat Mia dan Sebastian menari di planetarium, kemudian muncul lagi dalam versi sedih di akhir film. Ini bukan kebetulan. Ini adalah teknik komposisi yang sangat terstruktur dan emosional.

Calon filmmaker perlu mencermati bagaimana Hurwitz membangun karakter bukan dengan kata-kata, tapi dengan harmoni. Bahkan ada adegan yang tak punya dialog tapi tetap menyampaikan banyak, karena skor musiknya tahu persis kapan harus menguat, kapan harus diam.

Dan tak heran, La La Land memenangkan Academy Award untuk Best Original Score dan Best Original Song (“City of Stars”). Itu bukan hanya karena musiknya indah, tapi karena musiknya mengandung narasi dan emosi yang mendalam. 

Daftar soundtrack La La Land yang Mengiringi Hati Penonton untuk Patah

Berikut adalah daftar lengkap lagu dari La La Land Original Motion Picture Soundtrack:

  • Another Day of Sun
  • Someone In The Crowd
  • Mia & Sebastian’s Theme
  • A Lovely Night
  • Herman’s Habit
  • City of Stars
  • Planetarium
  • Summer Montage / Madeline
  • City of Stars (Humming)
  • Start A Fire
  • Engagement Party
  • Audition (The Fools Who Dream)
  • Epilogue
  • The End
  • City of Stars (feat. Ryan Gosling & Emma Stone)

La La Land Bisa Ditonton Di Mana Sekarang?

Kalau kamu baru pertama kali dengar atau ingin nonton ulang, pertanyaan besar tentu adalah: La La Land bisa ditonton di mana sekarang? Jawabannya: kamu bisa menikmatinya di Netflix dan Vidio. Dua platform streaming ini jadi gerbang mudah untuk masuk ke dunia penuh warna, mimpi, dan konflik emosional yang ditawarkan film ini.

Di Netflix, kamu tinggal login dan cari judulnya. Sementara di Vidio, kamu perlu membuat akun, memilih paket premium, lalu langsung bisa menikmati filmnya setelah pembayaran selesai. Jangan lupa cek juga katalog Video on Demand mereka, karena terkadang film ini muncul sebagai bagian dari promo musiman.

Bagi penggemar fisik, versi Blu-ray atau DVD La La Land memang tidak selalu tersedia di pasar lokal, tapi kamu bisa menemukan rilis internasionalnya dari distributor seperti Universal Pictures, Lionsgate, atau Odeon. 

Beberapa kolektor menyebut bahwa versi Blu-ray memberikan pengalaman visual dan suara yang lebih tajam, cocok kalau kamu ingin mempelajari aspek teknis sinematografi atau scoring film ini secara detail.

La La Land Bikin Kamu Nyeseknya Dimana?

Film ini mengajarkan bahwa dalam kehidupan nyata, tidak semua kisah cinta harus berakhir bersama untuk disebut indah. Kadang, justru perpisahanlah yang membuat kenangan menjadi lebih berarti. Film La La Land menyampaikan satu pesan penting: bahagia dan sedih bisa berdampingan, seperti mimpi dan realita yang tak selalu sejalan.

Bagi penonton awam, film ini mungkin menyisakan luka. Tapi bagi calon filmmaker, La La Land adalah kelas master tentang bagaimana emosi bisa disampaikan tanpa harus banyak kata. Dan bagi siapa pun yang pernah mencintai, atau bermimpi, film ini adalah cermin perasaan yang tak pernah bisa diucapkan dengan tuntas.

Untuk movie and music addict, atau kamu yang bercita-cita jadi filmmaker, yuk temukan lebih banyak Berita Musik dan Film hanya di Lemo Blue!

5 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *