Kalau kamu penasaran The Irishman sinopsis itu tentang apa, yuk kita ngobrol bareng di sini. Film garapan Martin Scorsese adalah reuni aktor legendaris (Robert De Niro, Al Pacino, dan Joe Pesci) berhasil bikin sejarah dengan 10 nominasi Oscar, termasuk kategori Best Picture.
Di balik durasi epiknya, tersimpan cerita mendalam soal kejahatan, kesetiaan, dan waktu yang terus berjalan. Kita bakal bahas ceritanya buat kamu yang belum nonton, kupas tuntas untuk yang sudah, plus bongkar fakta produksi dan teknologi sinematik yang bikin film ini beda kelas.
Table of Contents
The Irishman Sinopsis Bercerita Tentang Apa?

Sebelum kamu memutuskan untuk duduk manis, ada baiknya kita bahas dulu sebenarnya The Irishman sinopsis itu seperti apa.
Cerita Lewat Mata Frank Sheeran
The Irishman sinopsis ketika kita diajak masuk ke dalam kepala Frank Sheeran, seorang pensiunan tukang pukul mafia yang kini menghabiskan hari-harinya di panti jompo. Frank (diperankan Robert De Niro) bukan sembarang karakter, dia dulunya tentara Perang Dunia II, lalu jadi sopir truk, sampai akhirnya berubah haluan menjadi “pelukis rumah.”
Tapi jangan bayangkan dia bawa kuas, ini istilah kode untuk pembunuh bayaran.
Dalam film ini, Frank mengisahkan perjalanan hidupnya dari awal yang biasa-biasa saja, lalu pelan-pelan tenggelam dalam dunia kriminal yang penuh jebakan. Dari seorang prajurit muda, jadi tukang eksekusi mafia, lalu menua dengan wajah yang menyimpan banyak rahasia.
Baca Juga, Yah! Inside Llewyn Davis: Film yang Nggak Mau Kamu Bahagia
Konflik yang Rumit: Mafia, Politik, dan Hoffa
Segalanya berubah ketika Frank bertemu dengan Russell Bufalino (Joe Pesci), bos mafia dari Pennsylvania. Dari sinilah jalan hidup Frank makin berliku. Russell mengenalkannya pada Jimmy Hoffa (Al Pacino), seorang tokoh serikat pekerja yang penuh kharisma dan kontroversi.
Hubungan Frank dengan Hoffa di The Irishman sinopsis seperti saudara, tapi juga seperti bom waktu. Ketegangan mulai memuncak saat Hoffa berkonflik dengan mafia, dan Frank terjebak di tengah-tengah, antara kesetiaan pada teman atau setia pada sistem yang membesarkannya.
Dan ya, film ini juga menawarkan satu teori yang cukup meyakinkan soal siapa yang sebenarnya menghabisi Jimmy Hoffa, buronan paling misterius tahun 1975.
Tema yang Bikin Film Ini Beda Kelas
Nah, di balik semua aksi dan dialog panjang, The Irishman sinopsis dapat dilihat banyak lapisan makna yang bikin film ini terasa dalam banget:
- Loyalitas dan Persahabatan: Ikatan antara Frank, Hoffa, dan Bufalino bukan hubungan biasa. Film ini mengupas sisi rumit dari sebuah kesetiaan, ketika sahabat bisa jadi korban karena pilihan yang sulit.
- Waktu dan Penuaan: Martin Scorsese menekankan bagaimana waktu bisa jadi musuh yang diam-diam menyakitkan. Perjalanan visual film ini pun mencerminkan hal itu, dari tampilan warna yang cerah di masa muda, jadi suram dan berdebu seiring usia Frank menua.
- Penyesalan dan Dosa Lama: Sepanjang film, kita disuguhi suara hati Frank yang penuh sesal. Dia tidak hanya menceritakan apa yang terjadi, tapi juga mencoba memahami apa artinya semua itu.
The Irishman Review: Magnum Opus dari Martin Scorsese

Film sepanjang 3 jam 29 menit ini bisa jadi terdengar berat di awal, tapi buat kamu yang siap menyelami dunia mafia dari kacamata yang lebih reflektif dan manusiawi, The Irishman adalah pengalaman sinematik yang nggak boleh dilewatkan.
Reaksi Kritikus dan Penonton
Banyak kritikus bilang ini bukan sekadar film mafia biasa, ini semacam perenungan panjang tentang umur, kesetiaan, dan pilihan hidup yang membawa dampak sampai akhir hayat.
Kalau kamu terbiasa dengan ritme cepat dan ledakan khas film gangster, The Irishman sinopsis akan terasa seperti duduk di kursi belakang mobil sambil melihat ke belakang, pelan, tapi penuh makna. Durasi panjangnya jadi bahan omongan, tapi sebagian besar penonton setuju: ceritanya padat dan layak disimak dari awal sampai akhir.
Akting: Trio Legendaris dalam Performa Penuh Jiwa
Salah satu daya tarik utama dari The Irishman sinopsis tentu saja trio mautnya: Robert De Niro, Al Pacino, dan Joe Pesci. Mereka tampil total.
- Robert De Niro sebagai Frank Sheeran bukan hanya menunjukkan transformasi fisik, tapi juga batin. Mulai dari tentara muda, pembunuh berdarah dingin, sampai pria tua yang dihantui rasa bersalah.
- Al Pacino sebagai Jimmy Hoffa tampil meledak-ledak dan penuh karisma. Sosok pemimpin serikat buruh yang keras kepala tapi juga disayangi banyak orang ini benar-benar hidup di tangan Pacino.
- Joe Pesci, yang keluar dari masa pensiunnya, justru mencuri perhatian dengan gaya yang lebih kalem dari peran gangster biasanya. Sebagai Russell Bufalino, dia menyuguhkan aura dingin dan intimidatif tanpa perlu banyak bicara.
Penyuntingan dan Alur Cerita
Scorsese dan editor langganannya, Thelma Schoonmaker, memilih gaya penyuntingan yang sederhana tapi efektif. Film ini menggunakan alur non-linear, jadi kamu bakal diajak bolak-balik lintas dekade, dari jalan tol ke masa muda Frank, dari panti jompo ke ruang rapat mafia.
Alih-alih memperlihatkan kekerasan secara dramatis, The Irishman sinopsis ini justru menampilkan pembunuhan dalam wide shot datar, tanpa musik atau efek bombastis. Ini bukan soal aksi, tapi soal kesunyian dan kehampaan dari hidup yang dihabiskan untuk membunuh atas nama loyalitas.
Yang menarik, tiap karakter penting diberi title card tentang bagaimana mereka akhirnya meninggal. Bukan spoiler, tapi pengingat bahwa kehidupan dalam dunia mafia hampir selalu berakhir tragis.
Visual dan Musik yang Nendang
Cinematografer Rodrigo Prieto sukses membedakan tiap era dalam film lewat perubahan warna dan pencahayaan. Di era 50-an, visual terasa hidup dengan gaya Kodachrome yang penuh semangat. Masuk ke 70-an dan 80-an, tone warna mulai redup, seolah mencerminkan usia dan beban hidup Frank yang makin berat.
Dan tentu, teknologi de-aging di sini bukan main. Prieto dan tim menggunakan rig kamera tiga arah alias three-headed monster, yang bikin wajah para aktor bisa tampak muda tanpa pakai titik-titik tracking yang biasanya kelihatan aneh.
Untuk urusan musik, Robbie Robertson mengisi ruang emosional dengan pilihan lagu yang pas di tiap era. Musik di sini bukan cuma pengiring, tapi bagian dari cerita yang ikut memperkuat suasana hati.
Kritik yang Muncul
Meski banyak dipuji, bukan berarti The Irishman nggak punya celah. Beberapa penonton mengeluhkan durasi film yang terlalu panjang, apalagi kalau kamu belum terbiasa dengan gaya narasi lambat yang meditatif.
Lalu, efek CGI de-aging kadang terlihat agak ganjil, terutama saat tubuh aktor tua bergerak dengan cara yang nggak cocok untuk wajah mudanya. Transisinya belum sepenuhnya halus, walau teknologi ini tetap jadi terobosan.
Satu hal lagi yang jadi perhatian: minimnya porsi karakter perempuan. Misalnya, karakter Peggy (putri Frank) yang diperankan Anna Paquin, tampil kuat dalam bahasa tubuhnya tapi jarang diberi dialog. Ini menimbulkan diskusi soal representasi dan peran perempuan dalam narasi yang didominasi pria.
Fakta-Fakta Menarik di Balik Layar The Irishman yang Bikin Makin Kagum

Buat kamu yang penasaran sama proses di balik layar film ini, The Irishman bukan cuma hebat di depan kamera, tapi juga menyimpan banyak cerita menarik dari balik produksinya. Yuk, kita bongkar satu per satu kisah di balik pembuatan film ini, LemoList!
Proyek Impian yang Terwujud Setelah Puluhan Tahun
Sebelum film ini benar-benar terwujud, The Irishman sudah lama jadi proyek impian para nama besar di baliknya. Ceritanya bahkan dimulai dari sebuah buku yang secara nggak langsung “menyapa” Robert De Niro.
De Niro dan Buku yang Mengubah Segalanya
Waktu itu, Scorsese sebenarnya sedang ngajak De Niro bikin film tentang pembunuh bayaran tua. Tapi pas De Niro riset, dia nemu buku I Heard You Paint Houses karya Charles Brandt. Isinya tentang Frank Sheeran, seorang pembunuh bayaran yang terlibat dalam berbagai kejadian kelam di dunia mafia Amerika.
Karakter Frank langsung menarik perhatian De Niro. Dia pun bawa buku itu ke Scorsese dan bilang, “Kita harus bikin ini.” Dari situlah semuanya dimulai, dan berubah arah.
Scorsese dan Al Pacino Akhirnya Bekerja Bareng
Percaya atau nggak, Scorsese dan Al Pacino belum pernah kerja bareng sebelumnya. Padahal mereka sudah saling kenal sejak tahun 1970 lewat Francis Ford Coppola. Tapi karena satu dan lain hal, proyek bersama mereka selalu kandas.
Scorsese bahkan sempat bilang kalau Pacino terasa “nggak terjangkau”. Untungnya, De Niro meyakinkan Scorsese kalau Pacino bakal jadi partner yang pas. Dan akhirnya, The Irishman jadi panggung pertama mereka berkolaborasi. Worth the wait banget!
Joe Pesci dan 50 Kali Penolakan
Kalau kamu merasa susah ngajak temen nongkrong, bayangin perjuangan Scorsese ngajak Joe Pesci main di film ini. Prosesnya bisa dibilang setengah nekat, setengah penuh harapan.
Cerita Panjang Kembalinya Pesci dari Masa Pensiun
Joe Pesci sebenarnya udah pensiun dari dunia akting. Tapi buat peran Russell Bufalino, Scorsese cuma pengin dia, nggak ada aktor lain. Sayangnya, Pesci terus-terusan nolak.
Ditolak 50 Kali, Tapi Nggak Menyerah
Menurut kabar, Pesci menolak peran ini sampai 50 kali, LemoList! Tapi Scorsese pantang menyerah. Dan akhirnya, entah karena lelah ditawari atau karena tertarik juga sama naskahnya, Pesci bilang iya. Bisa dibilang, ini salah satu comeback paling keren di perfilman modern.
Detail Unik di Lokasi Syuting
Proses syuting The Irishman juga penuh kejutan dan pendekatan unik yang bikin hasil akhirnya terasa autentik dan hidup. Nih, beberapa cerita yang mungkin belum kamu tahu.
Adegan Es Krim yang Tak Terduga
Ada satu adegan di kantin penjara antara Jimmy Hoffa (Pacino) dan Tony Pro (Stephen Graham) yang bikin penonton tegang. Nah, momen saat es krim Hoffa diseruduk Tony Pro itu nggak ada di naskah, lho!
Itu ide spontan dari Graham. Dia minta izin ke Scorsese buat nyoba gerakan itu, tapi Pacino nggak dikasih tahu duluan. Hasilnya? Reaksi kaget Pacino yang kamu lihat di film itu asli, dan makin bikin adegannya terasa hidup.
Aktor Dikasih Pelatih Postur Khusus
Karena film ini pakai teknologi de-aging, aktor-aktornya harus kelihatan muda bukan cuma di wajah, tapi juga dari cara mereka bergerak. Nah, di sinilah Gary Tacon, pelatih postur yang nggak dikreditkan, masuk membantu.
Contohnya Al Pacino yang waktu syuting sudah 78 tahun, tapi harus berakting sebagai Jimmy Hoffa di usia 40-an. Gerakannya masih kaku kayak kakek-kakek. Tacon bantu dia dan aktor lain menyesuaikan postur mereka biar sesuai usia tiap versi karakternya.
Anna Paquin dan Peran yang Bicara Lewat Tatapan
Anna Paquin mungkin nggak banyak bicara di film ini, tapi tatapannya tajam banget. Dia berperan sebagai Peggy, anak Frank Sheeran, dan hampir semua emosinya disampaikan lewat ekspresi wajah.
Scorsese memang sengaja bikin karakter Peggy minim dialog. Dia tahu kemampuan Paquin luar biasa dalam mengekspresikan perasaan tanpa kata-kata, sesuatu yang udah dia lihat sejak film Margaret. Dan emang bener, tiap tatapan Paquin ke De Niro sukses bikin penonton ikut merasakan jarak dan rasa bersalah yang mengganjal hubungan ayah-anak itu.
The Irishman Direkam Pakai Apa? Teknologi dan Kamera Canggih di Baliknya

Kalau kamu nonton The Irishman dan mikir, “Kok bisa ya De Niro muda lagi kayak tahun 80-an?”, itu bukan sulap, LemoList! Film ini nggak cuma jago cerita, tapi juga jadi tonggak sejarah teknologi sinema modern.
Apakah The Irishman Direkam dalam Film atau Digital?
Waktu The Irishman digarap, Scorsese dan sinematografer Rodrigo Prieto nggak mau asal pilih teknologi. Mereka pengin visualnya punya rasa nostalgia, tapi juga butuh fleksibilitas buat efek digital. Solusinya? Campur!
Kombinasi Film Analog dan Kamera Digital
Beberapa adegan direkam pakai kamera film 35mm, terutama bagian akhir cerita saat karakter udah tua dan nggak butuh efek de-aging. Ini biar hasil gambarnya punya tekstur dan grain yang mirip memori masa lalu, nggak kayak home video, tapi juga nggak terlalu bersih kayak film digital zaman sekarang.
Tapi buat bagian yang butuh aktor tampil muda, kayak saat Frank Sheeran (De Niro) masih aktif jadi “pembersih masalah”, mereka pakai kamera digital. Ini penting banget karena efek de-aging yang dipakai butuh detil wajah tingkat dewa.
Efek De-Aging Butuh Kamera Digital
Scorsese ogah pakai motion capture dengan titik-titik di wajah yang bisa ganggu ekspresi aktor. Makanya, tim efek visual dari ILM butuh kamera yang bisa nangkep semua detail ekspresi asli langsung dari set. Hasilnya, teknologi canggih ini jalan mulus berkat kamera digital, lighting yang presisi, dan akurasi pengolahan data di setiap frame.
Prieto sendiri bilang, ini kayak ngerjain dua film dalam satu waktu, film analog buat dramanya, digital buat teknologinya. Ribet, tapi hasilnya? Sinematik banget.
Kamera Apa yang Digunakan dalam The Irishman?
Kalau kamu suka dunia behind the scenes dan ngulik soal gear, bagian ini buat kamu banget, LemoList. Teknologi di balik The Irishman bukan main-main, mulai dari rig monster sampai trik infra merah.
“Three-Headed Monster” Buat Efek De-Aging
Buat ambil adegan wajah muda para aktor, tim pakai rig kamera khusus yang dijuluki “Three-Headed Monster”. Sesuai namanya, rig ini punya tiga kamera sekaligus yang harus bergerak serempak.
Tapi awalnya rig ini terlalu berat, jadi harus dibikin ulang bareng ARRI Rental biar bisa dipasang di semua jenis alat pengambilan gambar, Steadicam, crane, sampai head kecil buat ruang sempit.
RED Helium Sebagai Kamera Utama
Kamera utama yang nangkep adegan benerannya adalah RED DSMC2 HELIUM 8K S35. Ini bukan sembarang kamera digital, sensornya bisa nyamain tampilan film analog, dan warnanya stabil, cocok buat blending sama footage film 35mm.
ALEXA Mini untuk Tangkap Data IR (Infrared)
Dua kamera tambahan di rig itu adalah ALEXA Mini, tapi dimodifikasi khusus. Mereka cuma ngeliat cahaya infrared! IR ring light dipasang mengelilingi lensanya, jadi wajah para aktor bisa direkam detil otot dan gerakannya tanpa terganggu lighting lokasi. Kamera ini ngumpulin data buat diproses di ILM biar efek de-aging-nya tetap natural dan presisi.
Lookup Tables dan Visual Effects dari ILM
Setelah syuting, ILM butuh data tambahan kayak grey sphere, color chart, bahkan LIDAR scan buat bikin pencahayaan digital di komputer seakurat mungkin sama kondisi asli di set. Lookup Table (LUT) khusus dipakai buat nyamain tampilan digital dengan film analog dari berbagai era, nggak cuma soal warna, tapi suasana.
Teknik Sinematografi yang Menghidupkan 5 Dekade
Nah, setelah tahu kameranya, kamu pasti penasaran gimana The Irishman bisa ngerasa kayak melintasi lima dekade dengan mulus. Ini bukan kebetulan, tapi hasil perhitungan visual yang matang dari Prieto dan tim.
Warna Setiap Era yang Bikin Kamu Ngerasa Ada di Sana
Rodrigo Prieto bikin LUTs berdasarkan film emulsions lawas yang beneran dipakai di tahun-tahun itu.
- 1950-an: pakai look ala Kodachrome—warna-warni dan vibrant, cocok buat masa muda Frank yang lagi naik daun.
- 1960-an: dikasih nuansa Ektachrome—masih hangat tapi mulai mellow.
- 1970-an hingga akhir Hoffa: pakai teknik silver retention (ENR)—warna mulai pudar, kontras makin tinggi.
- 1980-an ke atas: visual makin dingin dan desaturated, kayak hidup yang mulai kehilangan makna.
Transisinya halus, tapi terasa banget kalau kamu perhatiin.
Lighting Berdasarkan Memori Pribadi Scorsese
Scorsese punya detail ingatan yang kuat, dan itu jadi acuan lighting di tiap lokasi. Misalnya:
- Di restoran mafia Villa Roma, lighting-nya pakai bola lampu watt kecil berwarna amber, terasa hangat tapi menekan.
- Di Umberto’s Clam House, dia pengin nuansa terang keputihan khas restoran seafood. Jadi Prieto pasang lampu cyan dari atas, plus Lekos buat sorot cahaya tajam yang dramatis tapi tetap natural.
Mobil Studio yang Nggak Kelihatan Bohongan
Semua adegan dalam mobil ternyata syuting di studio, LemoList! Tapi biar kelihatan kayak di jalan, mereka pasang LED screen raksasa (kayak jumbotron) di luar jendela mobil. Layarnya nampilin rekaman jalanan yang diambil pake 9 kamera mengelilingi mobil asli.
Hebatnya, gambar di LED itu ikut mantulin cahaya ke wajah aktor, jadi pencahayaan dan bayangan mereka tetap realistis, kayak beneran lagi jalan. Kalau kamu ngerasa adegan dalam mobilnya terasa nyata, ya karena emang lighting-nya digarap seakurat itu.
Gaya Kamera dan Warna yang Bercerita
Kita udah bahas soal alat dan tekniknya, sekarang saatnya ngebahas gimana visual The Irishman jadi cermin perjalanan batin Frank Sheeran.
Gerakan Kamera yang Dingin dan Teratur
Waktu Frank Sheeran melakukan aksi “kerjanya”, kamera Scorsese nggak neko-neko. Gerakannya simpel, kadang statis, atau cuma panning pelan. Nggak ada efek dramatis, karena buat Frank, membunuh udah kayak rutinitas dari zaman perang. Ini cara halus buat nunjukin betapa beku dan tertutupnya emosi dia.
Visual yang Ikut Menua Bareng Karakter
Di awal film, warnanya hangat dan cerah. Tapi makin Frank tua, warnanya makin pudar. Kontras menurun, tekstur gambar makin kasar. Seolah-olah film ini juga ikut lelah dan surut, kayak hidup Frank yang mulai kehilangan arah dan makna.
Puncaknya setelah dia menyelesaikan “tugas terbesar” dalam hidupnya. Dari sana, dunia visualnya pelan-pelan jadi abu-abu.
Workflow HDR Biar Nendang di Layar Netflix
Walau tampil klasik, The Irishman tetap modern di balik layar. Versi bioskopnya di-grade pakai DCI-P3, tapi versi Netflix-nya pakai HDR grading duluan. Ini biar warna dan detail tetap maksimal walau ditonton dari rumah, entah di TV OLED mahal atau laptop seadanya. Hasilnya, pengalaman nonton tetap terasa mewah.
Akhir dari The Irishman bukan sinopsis adalah momen sunyi yang bikin kamu merenung tentang hidup, waktu, dan penyesalan. Film ini bukan untuk ditonton sambil lalu, ia mengajak kamu duduk, berpikir, dan bertanya: apa yang akan kita sesali nanti?
Kalau kamu suka cerita yang penuh lapisan makna dan karakter yang kompleks, The Irishman wajib masuk daftar tonton.
Dan kalau kamu ingin ngobrolin lebih banyak soal film-film jempolan atau musik yang punya cerita kuat di baliknya, yuk eksplor terus di Lemo Blue – Berita Musik dan Film! Kita siap nemenin kamu, LemoList!
Pingback: 60+ Rekomendasi Film Netflix Lengkap dengan Sinopsis!
Pingback: Urutan Nonton The Lord of the Rings yang Bikin Ngeh Ceritanya