Rekap Death by Lightning

Rekap Death by Lightning: Bodohnya Jangan Dipelihara Pls!

Death by Lightning adalah mini seri drama politik sejarah di Netflix yang bakal bikin kamu mikir ulang tentang ambisi dan kegilaan manusia. 

Terinspirasi dari buku Destiny of the Republic karya Candice Millard, serial empat episode ini membawa kamu ke era Presiden James Garfield—sosok pemimpin jujur yang malah terjebak di pusaran politik busuk, dan Charles Guiteau—si penembak delusional yang yakin tindakannya adalah takdir. 

Dibuat oleh Mike Makowsky, diproduseri David Benioff & D.B. Weiss, dan disutradarai Matt Ross, Death by Lightning jadi kisah sejarah yang nggak cuma relevan, tapi juga terasa tragis dan anehnya… timeless.

Sinopsis Death by Lightning — Dari Otak di Stoples sampai Peluru di Stasiun

Sinopsis Death by Lightning

Death by Lightning dimulai dengan cara paling aneh dan bikin merinding. Tahun 1969, di Army Medical Museum, para pekerja menemukan satu benda absurd: otak manusia yang diawetkan dalam toples kaca

Labelnya? Charles J. Guiteau. Satu dari mereka nyeletuk, “Siapa sih Charles Guiteau?!” — dan dari situ, cerita pun mundur jauh ke tahun 1880, membawa kita ke dua pria yang hidupnya sama-sama berujung tragis.

Pertama ada James Garfield (Michael Shannon), anggota kongres sederhana dari Ohio dan veteran perang sipil yang sebenarnya nggak minat masuk ke politik nasional. Dia datang ke Konvensi Nasional Partai Republik cuma buat menominasikan temannya, John Sherman

Tapi takdir punya selera humor: pidato berapi-api Garfield malah bikin semua delegasi bersorak dan secara nggak sengaja menobatkannya jadi calon presiden. 

Gara-gara politik busuk, dia harus terima Chester A. Arthur (Nick Offerman) — orang dekat senator korup Roscoe Conkling (Shea Whigham) — sebagai wakilnya.

Lalu muncul Charles Guiteau (Matthew Macfadyen), pria delusional yang hidupnya berantakan total. Baru keluar dari penjara, gagal bikin koran, dan kehabisan uang sampai tega mencuri dari keluarganya sendiri. 

Hidupnya berubah saat dia ngotot percaya bahwa pidato kecilnya membantu kemenangan Garfield di pemilu. Dari rasa kagum, tumbuh jadi obsesi beracun. Dia mulai mengejar jabatan diplomatik tinggi, yakin kalau Garfield “berutang budi” padanya.

Setelah ditolak mentah-mentah oleh pemerintahan Garfield, Guiteau merasa dikhianati. Di pikirannya yang kacau, satu-satunya cara menebus “ketidakadilan” itu adalah membunuh presiden. 

Maka pada 2 Juli 1881, di stasiun kereta Pennsylvania, Guiteau menembak Garfield dua kali. Tapi ironisnya, peluru itu bukan penyebab utama kematiannya.

Garfield masih bertahan hidup selama 80 hari penuh penderitaan. Justru dokter istana, Dr. Willard Bliss, yang mempercepat ajalnya. Dengan penuh keyakinan tapi tanpa sterilitas, Bliss berkali-kali menusuk luka Garfield dengan alat kotor sambil menolak teori antiseptik modern. 

Akibatnya? Infeksi parah (sepsis) yang akhirnya mengakhiri hidup sang presiden — bukan peluru, tapi kebodohan medis.

Begitulah Death by Lightning mengikat dua nasib: seorang pemimpin baik yang terbunuh karena kesombongan manusia, dan seorang pengkhayal gila yang ingin diingat dunia — tapi justru terlupakan dalam toples kaca.

Baca Juga, Yah! Rekap Just Alice: “Senangnya Dalam Hati Kalau Bersuami 2”

Rekap Death by Lightning — Dari Kemenangan Tak Sengaja sampai Akhir Tragis

Rekap Death by Lightning

Empat episode Death by Lightning terasa seperti satu perjalanan waktu yang pahit — dari awal yang penuh idealisme sampai akhir yang bikin kamu pengin teriak, “Serius segini absurd-nya sejarah?”

Episode 1–2: Ambisi, Politik, dan Awal Petaka

Cerita dibuka dengan potongan waktu di tahun 1969, saat sebotol otak manusia ditemukan di Army Medical Museum. 

Dari situ, kisah melompat ke 1880, memperlihatkan dua tokoh dengan hidup yang kontras: James Garfield, si keluarga sederhana dari Ohio yang lebih suka membajak tanah ketimbang berdebat di Senat, dan Charles Guiteau, si penipu gagal yang sedang duduk di kursi terdakwa karena aksi tipu-tipu.

Garfield datang ke konvensi Partai Republik di Chicago tanpa niat jadi presiden — niatnya cuma mau bantu teman. Tapi pidatonya yang jujur dan membakar semangat malah bikin para delegasi menjadikannya calon presiden secara aklamasi. 

Nasib pun memaksa dia menggandeng Chester A. Arthur, anak buah dari senator licik Roscoe Conkling.

Sementara itu, Guiteau baru keluar penjara dan langsung bikin hidupnya tambah berantakan. Ia gagal mendirikan koran The Daily Theocrat, ngutang sana-sini, lalu mencuri uang dari keluarganya sendiri. 

Di titik terendahnya, dia tiba-tiba yakin dirinya terlahir untuk hal besar — dan Garfield jadi pusat obsesinya.

Episode 3: Kegilaan yang Naik Level

Guiteau mulai melihat Garfield sebagai “pemimpin yang ia bantu menangkan.” Dia percaya pidato kampanyenya yang receh punya pengaruh besar, padahal hampir tak ada yang mendengarkan. 

Ketika permintaannya untuk jabatan diplomatik ditolak, delusinya makin menggila. Dia mondar-mandir ke kantor pemerintah, memohon, mengancam, dan akhirnya meyakini bahwa Tuhan memerintahkannya membunuh Garfield demi menyelamatkan bangsa.

Di sisi lain, Garfield sedang sibuk perang urat saraf dengan Conkling soal reformasi birokrasi. Ia berusaha memberantas korupsi dan menyentuh sisi baik Arthur, yang selama ini dikenal cuma sebagai boneka politik. Pertarungan moral dan politik ini jadi titik terang singkat di tengah kisah yang makin suram.

Episode 4: Penembakan dan Akhir yang Ironis

2 Juli 1881, stasiun kereta Pennsylvania. Guiteau menembak Garfield dua kali. Tapi ternyata peluru itu bukan yang membunuhnya. Garfield masih hidup — menderita hebat selama 80 hari di bawah perawatan Dr. Willard Bliss, dokter yang keras kepala dan anti-sains. 

Alih-alih mensterilkan luka, Bliss terus mengobok-oboknya dengan alat kotor sambil bilang “kuman itu cuma dongeng.” Akibatnya, infeksi menyebar cepat dan Garfield meninggal dalam penderitaan.

Guiteau, yang menunggu ketenaran dari aksinya, tak pernah mendapatkannya. Ia jadi simbol kegilaan, sementara Garfield dikenang sebagai presiden baik yang mati karena kebodohan orang lain.

Death by Lightning menutup kisahnya dengan dingin — dua pria dengan ambisi berbeda, tapi sama-sama ditelan absurditas sejarah.

Baca Juga, Yah! Rekap Heweliusz: Tragedi Nyata yang Dibungkus Konspirasi? Waduh!

Ending Death by Lightning — Siapa Sebenarnya yang Bersalah?

Ending Death by Lightning

Setelah semua tragedi di Death by Lightning, kamu bakal sadar kalau kisah ini bukan cuma soal pembunuhan presiden, tapi tentang manusia-manusia yang gagal memahami batas antara keyakinan, kesombongan, dan rasa bersalah. 

1. Dokter yang Lebih Mematikan dari Peluru

Garfield akhirnya tewas bukan karena tembakan, tapi karena kesombongan medis. Ia menderita infeksi parah (sepsis) gara-gara Dr. Willard Bliss, dokter yang ngotot menolak teori antiseptik dan terus “mengobati” luka Garfield dengan alat yang kotor. 

Cuaca panas Washington yang menyiksa, tubuh Garfield pelan-pelan menyerah. Serial ini menggambarkan kematian itu bukan sebagai tragedi heroik, tapi malapraktik besar yang disamarkan jadi kehormatan.

2. Guiteau — Si Delusional yang Akhirnya Sunyi

Sementara itu, Charles Guiteau—yang mengira dirinya bakal dikenang sebagai penyelamat bangsa—malah mendekam di penjara. Di balik jeruji, delusinya masih hidup. Ia menulis buku berjudul Truth, berharap karyanya bikin namanya abadi. 

Tapi harapan itu hancur total saat Lucretia Garfield, istri sang presiden, menemuinya. Ia dengan dingin bilang bahwa Garfield akan terlupakan, dan Guiteau bahkan tak pantas diingat.

Guiteau digantung pada 30 Juni 1882, mencoba membaca puisi absurd di depan penonton yang tak peduli. 

Tak ada tepuk tangan, tak ada pengakuan. Ia mati sebagai badut sejarah, tragis dan konyol di saat yang sama — bahkan sempat menendang tiang gantungan sebelum ajal menjemput.

3. Arthur dan Penebusan Dosa Politik

Setelah Garfield meninggal, Chester A. Arthur naik jadi presiden. Momen itu jadi titik balik hidupnya. Dari politisi oportunis, ia berubah jadi sosok yang mencoba memperbaiki sistem yang dulu ia rusak. 

Ia menandatangani reformasi besar yang dulu diperjuangkan Garfield — bukti kalau bahkan dari tragedi, masih bisa lahir secercah penebusan. Arthur memimpin sampai 1885, lalu meninggal setahun kemudian.

4. Yang Tersisa dari Sejarah

Sisa-sisa kisahnya terasa sunyi. Roscoe Conkling lenyap dari dunia politik tanpa jejak berarti. Lucretia Garfield hidup 37 tahun lagi, menjaga nama suaminya tetap terhormat. Molly, putri mereka, menikah dengan asisten ayahnya — semacam penutup hangat di tengah kisah pahit.

Akhir Death by Lightning menjelaskan satu hal: 

Terkadang sejarah tidak ditulis oleh pahlawan atau penjahat, tapi oleh kebodohan dan ego manusia yang terlalu yakin dirinya benar.

Daftar Pemain Death by Lightning — Parade Aktor Kelas Berat

Deretan pemain di Death by Lightning ini nggak main-main, LemoList! Tiap aktor ngasih nyawa ke karakter sejarah yang rumit dan bikin kisahnya makin hidup di layar.

  • Michael Shannon sebagai James A. Garfield
  • Matthew Macfadyen sebagai Charles Guiteau
  • Betty Gilpin sebagai Lucretia “Crete” Garfield
  • Nick Offerman sebagai Chester A. Arthur
  • Shea Whigham sebagai Senator Roscoe Conkling
  • Bradley Whitford sebagai James G. Blaine
  • Paula Malcomson sebagai Franny Scoville
  • Ben Miles sebagai George
  • Alistair Petrie sebagai John Sherman
  • Wayne Brett sebagai Ulysses S. Grant
  • Željko Ivanek sebagai Dr. Willard Bliss

Saat Sejarah Jadi Cermin Kegilaan Kita Sendiri

Death by Lightning adalah potret getir tentang ambisi, delusi, dan ego manusia yang bisa mengubah sejarah jadi tragedi. Serial ini nunjukin kalau kebodohan bisa lebih mematikan daripada peluru, dan kebenaran sering lahir dari penderitaan. 

Dengan akting luar biasa dari Michael Shannon dan Matthew Macfadyen, kisah ini sukses mengubah cerita presiden yang terlupakan jadi tontonan yang tajam dan menggigit.

Yuk, terus nongkrong di Lemo Blue, tempat kamu bisa nemuin lebih banyak rekap series yang seru, cerdas, dan ngena banget di hati!