Lagu di The Tortured Poets Department Taylor Swift

31 Lagu di ‘The Tortured Poets Department’: Taylor Nulis Puisi dari Luka yang Belum Sembuh

The Tortured Poets Department udah kayak surat cinta sekaligus catatan luka dari Taylor Swift buat dirinya sendiri. Udah siap dengan 16 lagu, eh tiba-tiba dua jam setelah rilis, Taylor ngasih kejutan: versi ganda berjudul The Anthology, total 31 lagu penuh emosi. 

Di sini, Taylor nggak cuma nyanyi tentang cinta yang gagal, tapi juga tentang dirinya yang lagi mencari arti dari semua badai—antara ketenaran, kehilangan, dan kejujuran yang kadang nyakitin. Album ini terasa kayak membaca buku harian seseorang yang berani menulis tiap patah hatinya jadi puisi.

Lagu-Lagu di The Tortured Poets Department Taylor Swift & Maknanya

Lagu-Lagu di The Tortured Poets Department Taylor Swift & Maknanya

Kalau kamu ngikutin perjalanan Taylor Swift, The Tortured Poets Department terasa kayak surat panjang dari seseorang yang lagi berusaha sembuh. Tiap lagu di sini punya kisah kecilnya sendiri—tentang kehilangan, ego, dan mimpi yang kandas.

Bab I — Heartbreak, Ego, and the American Dream That Never Was

Album The Tortured Poets Department dibuka dengan nuansa sendu yang langsung nyeret kamu ke dunia Taylor: dunia yang dipenuhi nostalgia, penyesalan, dan cinta yang gagal tumbuh. Dari kota kecil yang nggak pernah jadi impian, sampai perpisahan yang akhirnya harus diterima.

1. “Fortnight” (feat. Post Malone) — Dua Minggu yang Menghantui

Kamu pernah merasa kehilangan seseorang tapi masih kebayang tiap detailnya? Nah, “Fortnight” menangkap rasa itu dengan lembut. 

Lagu ini jadi pembuka The Tortured Poets Department, dan Taylor bareng Post Malone bercerita tentang hidup yang berhenti di momen “andai saja”. 

Ia membayangkan kisah ini terjadi di kota Amerika yang gagal mewujudkan mimpinya—tempat di mana cinta dan masa depan cuma tinggal kemungkinan.

2. “The Tortured Poets Department” — Surat untuk Matty Healy

Judul album ini muncul lagi sebagai lagu kedua—dan di sini Taylor seakan menulis surat pribadi. Banyak yang percaya lagu ini buat Matty Healy dari The 1975. 

Dari petunjuk soal mesin tik sampai nyebutin nama Charlie Puth, semuanya terasa kayak potongan jurnal seseorang yang nggak sengaja kamu baca. Lagu ini jadi inti dari The Tortured Poets Department: puitis, jujur, dan sedikit getir.

3. “My Boy Only Breaks His Favorite Toys” — Jadi Mainan Kesukaan yang Rusak

Di lagu ini, Taylor ngajak kamu ngeliat cinta dari sisi yang jarang dibahas—dari sudut pandang mainan favorit yang akhirnya dibuang. Metafora sederhana tapi sakit banget. Ia nulis tentang perasaan jadi orang yang dulu dicintai penuh, tapi sekarang cuma jadi kenangan yang bikin sesak.

4. “Down Bad” — Cinta yang Terlalu Cepat, Terlalu Palsu

“Down Bad” terasa lebih futuristik dengan synth tebal, tapi isinya masih penuh luka. Taylor ngomongin gimana rasanya love bombed—ketika seseorang datang dengan cinta yang megah, lalu pergi tanpa jejak. Baris “cryin’ at the gym” jadi simbol sederhana dari rasa hancur yang tetap harus disembunyikan di balik rutinitas.

5. “So Long, London” — Perpisahan Terpahit untuk Joe Alwyn

Lagu ini kayak pintu penutup dari satu era besar dalam hidup Taylor. “So Long, London” jelas buat Joe Alwyn, mantan yang pernah jadi rumah selama enam tahun. 

Di The Tortured Poets Department, lagu ini jadi titik di mana Taylor akhirnya melepas semuanya—kota, kenangan, dan cinta yang dulu ia banggakan. Nggak ada dramatisasi, cuma kejujuran yang tenang tapi dalam banget.

Baca Juga, Yah! 12 Lagu di Album ‘The Life of a Showgirl’ – Taylor Swift Gacor Semua!!

Bab II — Perlawanan, Pelarian, dan Penyesalan

Kalau di awal The Tortured Poets Department Taylor Swift masih sibuk mengurai patah hati, di bagian ini dia mulai melawan. Lagu-lagunya terasa lebih tajam dan tegas—tentang memilih jalannya sendiri, menanggung konsekuensinya, lalu kabur saat semuanya terasa sesak. 

6. “But Daddy I Love Him” — Cinta yang Tak Perlu Disetujui Siapa Pun

Taylor ngebuka bab ini dengan semangat pemberontakan. “But Daddy I Love Him” jadi semacam pengakuan bahwa dia nggak mau hidup di bawah ekspektasi siapa pun. 

Ia nyanyi dengan nada menantang, siap ngebakar hidupnya sendiri demi kebebasan. Lagu ini terasa kayak momen ketika seseorang udah muak dijudge dan akhirnya bilang, “biarin aja, ini pilihanku.”

7. “Fresh Out the Slammer” — Bebas dari Penjara Hubungan

Setelah pemberontakan, Taylor akhirnya keluar dari jerat lama. “Fresh Out the Slammer” pakai metafora penjara buat ngegambarin hubungan yang udah bikin sesak. Di The Tortured Poets Department, lagu ini jadi titik di mana dia sadar bahwa kadang kebebasan terasa lebih menakutkan daripada cinta yang bikin terpenjara.

8. “Florida!!!” (feat. Florence + the Machine) — Lari dari Dosa dan Drama

Nah, di lagu ini Taylor ngajak Florence Welch buat kabur bareng ke Florida—bukan buat liburan, tapi buat melupakan semuanya. “Florida!!!” terdengar liar dan penuh energi, kayak pelarian yang putus asa dari rasa bersalah dan penilaian orang. 

Ada kalimat brutal “F—k me up, Florida!” yang menegaskan betapa Taylor udah capek berpura-pura kuat. Serunya lagi, aktris Emma Stone juga ikut nyumbang sentuhan kecil di balik lagu ini.

9. “Guilty as Sin?” — Saat Cinta Terasa Seperti Dosa

Taylor kembali lembut di sini, tapi tetap getir. “Guilty as Sin?” menggambarkan godaan dan rasa bersalah yang bercampur jadi satu. 

Ia mempertanyakan perasaannya sendiri, seolah lagi di ruang interogasi batin. Di The Tortured Poets Department, lagu ini kayak adegan sunyi di tengah kekacauan—tempat Taylor berani jujur soal keinginannya.

10. “Who’s Afraid of Little Old Me?” — Bangkit dari Bayangan Skandal

Kalimat “You should be” di lagu ini kedengarannya kayak tamparan manis buat semua yang pernah meremehkannya. Taylor tampil kuat dan sinis, seolah bilang: “aku bukan korban, aku ancaman.” Lagu ini terasa sebagai kelanjutan semangat “Vigilante Shit”, tapi dengan kemarahan yang lebih matang dan sadar diri.

Bab III — Performing While Bleeding

Masuk ke bagian ini, The Tortured Poets Department terasa lebih reflektif. Taylor mulai menerima luka-lukanya, bahkan menjadikannya bahan pertunjukan. Di sini, antara cinta, kehilangan, dan ambisi bercampur jadi satu panggung besar yang nggak pernah benar-benar padam.

11. “I Can Fix Him (No Really I Can)” — Delusi yang Terlalu Akrab

Kita semua pernah berpikir bisa “menyembuhkan” seseorang yang rusak, kan? Nah, Taylor menggambarkan fase itu dengan lirik yang halus tapi menyakitkan. Dia sadar semua orang memperingatkannya, tapi tetap yakin bisa memperbaiki hubungan yang jelas-jelas nggak sehat.

12. “loml” — Dari ‘Love of My Life’ Jadi ‘Loss of My Life’

lomlterdengar tenang tapi dalam. Taylor mengubah makna singkatan yang biasanya romantis jadi penuh kehilangan. Ia mengingat seseorang yang dulu berarti segalanya, tapi kini cuma tinggal bayangan. Lagu ini terasa seperti menatap foto lama sambil berusaha lupa kenapa dulu begitu bahagia.

13. “I Can Do It With a Broken Heart” — Menari di Atas Luka

Kalau kamu pernah lihat Taylor tersenyum di atas panggung saat hatinya lagi remuk, lagu ini adalah jawabannya. Ia menggambarkan tekanan untuk tetap “berkilau” meski hancur di dalam. Baris “I’m so depressed, I act like it’s my birthday every day” jadi potret paling jujur dari sisi rapuhnya sebagai performer.

14. “The Smallest Man Who Ever Lived” — Amarah yang Terpendam Terlalu Lama

Taylor melepas kemarahannya di sini. Lagu ini terasa mentah dan kasar, mungkin buat Matty Healy yang disebut-sebut menginspirasi beberapa bagian The Tortured Poets Department. Ia menyindir lewat lirik tajam dan sarkastik, menertawakan seseorang yang “menendang lampu panggung tapi masih pengen tampil.”

15. “The Alchemy” — Momen Tenang Bersama Cinta Baru

Di tengah kekacauan emosional, “The Alchemy” hadir kayak napas lega. Banyak yang percaya lagu ini ditulis untuk Travis Kelce, dengan metafora football yang manis: touchdown, benched, sampai “the greatest in the league.” Akhirnya, cinta nggak terasa rumit—hanya sederhana dan hangat.

16. “Clara Bow” — Tentang Jadi Ikon dan Tekanan yang Datang Bersamanya

Taylor menutup bab The Tortured Poets Department dengan refleksi yang dalam. “Clara Bow” menyebut nama ikon film bisu 1920-an dan Stevie Nicks—dua sosok perempuan yang juga jadi simbol ketenaran dan beban ekspektasi. Lagu ini seperti catatan akhir dari penyair yang sudah melewati semuanya dan akhirnya bisa menulis: aku baik-baik saja sekarang.

The Anthology — Ketika Luka Lama Masih Menulis Bab Baru

lagu di The Tortured Poets Department The Anthology

Setelah 16 lagu pertamanya bikin kita hanyut dalam kisah kehilangan dan kemarahan, The Tortured Poets Department: The Anthology datang kayak buku lanjutan yang lebih tenang tapi lebih dalam. Di sini, Taylor Swift nggak cuma menulis tentang cinta yang gagal—dia membedah ingatannya, melucu di antara luka, dan akhirnya berdamai. 

Bab IV — Refleksi, Balas Dendam, dan Rekonsiliasi

Bagian ini kayak momen ketika kamu lagi nyetir malam-malam, mikirin semua yang pernah terjadi sambil muter lagu sendu. Setiap track terasa seperti percakapan pribadi Taylor dengan dirinya sendiri—tentang cinta, kehilangan, dan keinginan untuk tetap percaya meski hati udah babak belur.

17. “The Black Dog” — Melacak Kenangan dari Pub London

Taylor memulai The Anthology dengan suasana sunyi. “The Black Dog” adalah piano ballad yang melukiskan rasa kangen campur curiga. Dia sadar mantannya masih memunculkan bayangan di hidupnya lewat hal sepele—seperti notifikasi lokasi yang lupa dimatikan. Di The Tortured Poets Department, lagu ini terasa kayak mengintip masa lalu yang belum benar-benar mau pergi.

18. “imgonnagetyouback” — Antara Benci dan Ingin Balikan

Taylor menulis tentang dilema yang familiar: pengen nyakitin seseorang, tapi juga pengen dia balik lagi. Liriknya manis tapi tajam, bikin kamu sadar kalau cinta dan dendam kadang bedanya tipis banget. Lagu ini ngegambarin rasa rindu yang nyeleneh—kamu pengen dia menderita, tapi kamu juga pengen dia peluk kamu lagi.

19. “The Albatross” — Beban Cinta yang Tak Lepas

“The Albatross” membawa suasana mistik. Taylor menyebut dirinya “si albatros” — simbol dari beban yang terus menghantui. Di balik metafora itu, ada cerita tentang hubungan yang bikin gelisah, tentang seseorang yang harus kamu tinggalkan tapi terus membayangi langkahmu.

20. “Chloe or Sam or Sophia or Marcus” — Ketika Nama Jadi Petunjuk

Lagu ini kayak main tebak-tebakan di tengah hubungan yang udah retak. Taylor mempertanyakan kesetiaan seseorang yang mungkin sudah berpaling. Nama-nama dalam judulnya membuat suasana makin misterius—kayak dia sengaja bikin teka-teki buat kita pecahkan bareng.

21. “How Did It End?” — Otopsi Sebuah Cinta

Di sini, Taylor menulis seolah lagi meneliti bangkai hubungan yang sudah mati. Ia memotret rasa kehilangan yang diamati oleh dunia. Lirik “The deflation of our dreaming” menggambarkan kejatuhan yang nggak cuma pribadi, tapi juga publik—dan Taylor menatapnya tanpa filter.

22. “So High School” — Travis Kelce dan Nostalgia Remaja

Akhirnya, cahaya muncul lagi. Lagu ini adalah cinta yang terasa ringan dan jujur, kayak masa SMA. “So High School” menggambarkan hubungan Taylor dengan Travis Kelce dengan sentuhan nostalgia dan tawa kecil. Setelah semua luka di The Tortured Poets Department, lagu ini terasa kayak napas lega di antara air mata.

23. “I Hate It Here” — Tempat yang Bikin Lupa Diri

Di The Tortured Poets Department, “I Hate It Here” terasa seperti teriakan pelan dari seseorang yang udah terlalu lama bertahan di tempat yang bikin sesak. Taylor Swift menulis lagu ini sebagai bentuk pelarian dari situasi yang udah rusak, tempat yang bikin dirinya ngerasa nggak berharga. 

Bab V — Legacy and Letting Go

Bab terakhir ini adalah semacam epilog—Taylor mengumpulkan semua luka, dendam, dan kenangan untuk dijadikan warisan. Ia nggak lagi marah; ia menulis untuk menutup cerita, bukan untuk membuka luka baru.

24. “thanK you aIMee” — Sindiran Penuh Elegan untuk Kim K

Taylor kembali tajam tapi dengan elegansi yang bikin senyum miring. Judulnya, dengan huruf kapital “KIM”, jadi clue jelas. Lagu ini seperti surat terbuka berisi terima kasih sarkastik kepada seseorang yang tanpa sadar membuatnya makin kuat. Sebuah penghormatan pada luka lama yang akhirnya jadi bahan bakar.

25. “I Look in People’s Windows” — Tentang Jadi Penonton Hidup Orang Lain

Di The Tortured Poets Department, “I Look in People’s Windows” nunjukin sisi Taylor Swift yang paling rapuh dan reflektif. Ia menggambarkan dirinya seperti orang asing yang cuma bisa ngelihat dari luar—menatap kehidupan orang lain sambil ngerasa terjebak di masa lalu. Lagu ini kayak momen malam sendirian, saat kamu tiba-tiba mikir: “Gue udah kehilangan terlalu banyak, ya?”

26. “The Prophecy” — Ramalan yang Nggak Bisa Dihindari

“The Prophecy” jadi salah satu lagu paling tragis di The Tortured Poets Department. Di sini, Taylor Swift curhat tentang bagaimana karier yang sukses sering datang bareng pengorbanan besar—terutama dalam hubungan. 

Ia nyanyiin harapan sederhana: ingin seseorang yang benar-benar mau menemani, bukan cuma mengagumi dari jauh. Lagu ini berasa kayak doa kecil yang dikirim dari seseorang yang udah capek menang sendirian di puncak.

27. “Cassandra” — Kebenaran yang Tak Pernah Didengar

Mengambil inspirasi dari mitologi Yunani, Taylor membandingkan dirinya dengan Cassandra—seseorang yang tahu kebenaran tapi tak pernah dipercaya. Lagu ini juga mengandung bayangan feud lamanya dengan Kim Kardashian. Di The Tortured Poets Department, ini jadi momen refleksi tentang harga dari berkata jujur di dunia yang suka membalikkan narasi.

28. “Peter” — Janji yang Tak Pernah Ditepati

Dengan nuansa dongeng, Taylor menulis tentang seseorang yang nggak pernah tumbuh dewasa. “You said you were gonna grow up, then you were gonna come find me” — kalimat yang sederhana tapi nyesek. Lagu ini adalah renungan tentang janji kosong dan cinta yang ditinggal di tengah jalan.

29. “The Bolter” — Saat Pergi Jadi Bentuk Kebebasan

“The Bolter” di The Tortured Poets Department terdengar lembut tapi nyesek. Dengan nuansa musik yang mirip Folklore, Taylor Swift bercerita tentang seorang perempuan yang akhirnya belajar kapan harus pergi. Setelah terlalu sering terluka, meninggalkan bukan lagi tanda kalah—tapi cara untuk bernapas lagi. 

30. “Robin” — Surat untuk Anak yang Tak Ingin Dewasa

“Robin” terasa lembut dan penuh kasih. Lagu ini seperti pesan Taylor untuk anak kecil—baik imajiner, atau mungkin anak sahabatnya. Ia menyuruh mereka tetap polos, tetap bermimpi, dan jangan cepat-cepat jadi orang dewasa yang sinis. Di tengah album sekelam The Tortured Poets Department, lagu ini adalah matahari kecil.

31. “The Manuscript” — Penutup dengan Luka yang Sudah Dibingkai

Taylor menutup semuanya dengan nada melankolis. “The Manuscript” terasa seperti catatan akhir penyair yang akhirnya selesai menulis kisah hidupnya. Ia sadar bahwa dengan menceritakan semua ini, kisahnya kini sudah jadi milik dunia. Seolah ia bilang ke kita, LemoList: “Aku udah melewati semuanya, dan sekarang kamu yang baca ceritaku.”

Dari Patah Hati Jadi Warisan Seni

daftar lagu The Tortured Poets Department Taylor Swift

Lewat The Tortured Poets Department, Taylor Swift memperlihatkan bagaimana manusia belajar berdamai dengan diri sendiri. Setiap lagu terasa seperti halaman diari yang dibuka pelan-pelan, menyingkap rasa sakit, amarah, dan akhirnya ketenangan. 

Album ini jadi bukti kalau patah hati bisa berubah jadi karya seni yang abadi—sebuah catatan jujur tentang bagaimana kehilangan justru bisa melahirkan kekuatan baru.

Kalau kamu, LemoList, suka menelusuri kisah di balik musik dan ingin tahu bagaimana artis lain menyalurkan emosinya lewat lagu, yuk lanjut eksplor berita musik terbaru dan ulasan menarik lainnya di Lemo Blue! Siapa tahu, kamu nemu lagi kisah yang resonan sama hatimu.