Call Me By Your Name adalah kisah yang bikin hati kamu hangat sekaligus patah dalam satu tarikan napas. Disutradarai Luca Guadagnino dan diadaptasi dari novel André Aciman, film ini membawa kamu ke Italia Utara tahun 1983, di sebuah vila keluarga yang tenang tapi penuh gejolak emosi.
Bayangkan matahari, buah persik, dan cinta pertama yang mekar perlahan di antara dua jiwa muda—Elio dan Oliver. Dengan sinematografi yang memanjakan mata dan atmosfer yang sensual, film berdurasi dua jam lebih ini bakal bikin kamu larut dalam nostalgia dan kenangan yang terasa nyata banget.
Table of Contents
Sinopsis Call Me By Your Name: Ketika Elio dan Oliver Jatuh Cinta di Musim Panas

Musim panas di Italia tahun 1983 jadi saksi kisah yang lembut sekaligus mengguncang dalam Call Me By Your Name. Suasana tenang di vila keluarga Perlman—tempat di mana waktu berjalan lambat, tapi perasaan tumbuh cepat.
Elio Perlman, remaja 17 tahun yang cerdas dan berbakat, menghabiskan hari-harinya dengan musik, buku, dan renungan di bawah sinar matahari Lombardy.
Kehidupan yang tenang itu berubah ketika Oliver, mahasiswa doktoral berusia 24 tahun, datang untuk membantu ayah Elio, seorang profesor arkeologi klasik. Sejak pertemuan pertama, ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan—sebuah ketertarikan yang perlahan tumbuh di antara keduanya.
Selama lima minggu penuh cahaya dan udara hangat, Call Me By Your Name menelusuri perjalanan Elio dan Oliver dalam menemukan makna cinta pertama, keinginan, dan keberanian untuk jujur pada diri sendiri.
Setiap tatapan, sentuhan, dan percakapan di film ini terasa hidup, menggambarkan bagaimana satu musim bisa mengubah segalanya, bahkan selamanya.
Baca Juga, Yah! No Other Choice (2025): Nggak Ada Pilihan Lain Selain Gila!
Ending Call Me By Your Name: Hangat, Pedih, tapi Indah Banget

Setelah musim panas yang penuh warna di Call Me By Your Name, cerita berakhir dengan nada yang sunyi tapi menghantam perasaan. Di bagian ini, film menggambarkan bagaimana Elio memproses cinta, kehilangan, dan ingatan yang menempel selamanya.
Dua adegan utama jadi pusat emosi di ending: percakapan lembut dengan sang ayah, lalu panggilan telepon dari Oliver yang menutup segalanya dengan getir.
Monolog Mr. Perlman yang Legendaris
Ketika Oliver meninggalkan Italia, Elio tenggelam dalam duka yang tenang. Di saat itu, ayahnya, Mr. Perlman, muncul dengan salah satu momen paling menyentuh di Call Me By Your Name.
Dalam percakapan sederhana tapi dalam, sang ayah mengingatkan Elio untuk tidak menolak rasa sakit, karena di situlah juga tersimpan kebahagiaan dari cinta yang pernah ada.
Kalimatnya terasa seperti pelukan hangat:
“Kita sering mematikan perasaan agar cepat sembuh, tapi akhirnya kita jadi kosong lebih cepat. Jangan bunuh rasa sakitmu, karena di sana juga ada sukacitamu.”
Lewat monolog ini, Call Me By Your Name memberi pesan besar:
Biarkan diri kamu merasa (galau)—karena cinta, seberapa pun singkatnya, tetap layak dirayakan.
Panggilan Telepon dari Oliver
Waktu melompat ke musim dingin. Elio menerima telepon dari Oliver, dan kamu langsung tahu ini bukan obrolan ringan. Awalnya hangat, penuh nostalgia, lalu pelan-pelan berubah jadi pilu saat Oliver bilang ia akan menikah. Dalam diam, Elio mencoba menelan kenyataan pahit itu.
Lalu muncul momen paling ikonik di Call Me By Your Name: Elio memanggil nama Oliver dengan suaranya sendiri—sebuah panggilan yang jadi simbol keintiman dan kenangan yang nggak akan hilang. Oliver menjawab, “I remember everything.” Di situ, kamu tahu: perasaan mereka nyata, tapi waktu tidak berpihak.
Final Shot: Tangisan di Depan Api
Adegan terakhir Call Me By Your Name adalah keheningan yang berbicara banyak. Elio duduk di depan perapian, menatap nyala api yang menari, sementara wajahnya perlahan berubah dari kosong menjadi penuh air mata. Kamera tidak berpindah, seolah memberi ruang bagi penonton untuk ikut larut dalam perasaannya.
Timothée Chalamet menutup film ini dengan akting yang jujur—tanpa dialog, tanpa musik dramatis—hanya sorot mata yang menanggung semua kenangan musim panasnya bersama Oliver.
Saat judul Call Me By Your Name akhirnya muncul di layar, kamu tahu ini bukan sekadar kisah cinta, tapi perjalanan emosional tentang kehilangan dan keindahan mencintai dengan sepenuh hati.
Review Call Me By Your Name: Worth It atau Skip?

Kalau kamu lagi cari film yang bisa bikin senyum lembut sekaligus sesak di dada, Call Me By Your Name jelas termasuk kategori worth it banget. Film ini akan meninggalkan bekas emosional yang susah hilang.
Penilaian Kritikus
Sejak debutnya, Call Me By Your Name langsung banjir pujian. Dengan skor 95% di Tomatometer dan 86% dari penonton, film ini dianggap sebagai salah satu karya paling indah dan emosional di dekade 2010-an.
Banyak yang menyebutnya sebagai film yang “menghipnotis dengan keindahan sebelum akhirnya menghancurkan hati dengan cara paling lembut.”
Para kritikus memuji cara film ini menangkap rasa cinta, kerinduan, dan kehilangan tanpa drama berlebihan.
Adegan monolog Mr. Perlman bahkan disebut sebagai salah satu momen paling manusiawi dalam sejarah film modern—jujur, hangat, dan bikin refleksi panjang setelah layar padam. Call Me By Your Name bukan hanya romantis, tapi punya kedalaman yang terasa di setiap dialog dan diamnya karakter.
Akting dan Penyutradaraan
Bagian ini nggak bisa dilewatin, LemoList! Call Me By Your Name berdiri kuat karena penampilan dua aktornya. Timothée Chalamet tampil memukau sebagai Elio—setiap ekspresi, tatapan, dan gesturnya terasa tulus.
Dari rasa penasaran, euforia cinta, sampai patah hati, semuanya tersampaikan dengan natural. Performanya ini bahkan bikin dia digadang-gadang sebagai salah satu aktor muda terbaik di Hollywood.
Armie Hammer sebagai Oliver juga nggak kalah kuat. Ia berhasil menampilkan sisi lembut dan misterius yang bikin chemistry mereka terasa hidup.
Sementara itu, sentuhan Luca Guadagnino sebagai sutradara menghadirkan visual yang seperti puisi—halus, sunyi, tapi penuh emosi. Rasanya seperti membuka album kenangan yang hangat dan pahit di waktu bersamaan.
Tema dan Pesan Emosional
Setiap adegan dalam Call Me By Your Name membawa kamu ke perjalanan cinta yang sederhana tapi dalam. Film ini bicara tentang cinta pertama, kehilangan, dan keberanian untuk merasakan—meski tahu akhirnya akan sakit. Pesannya jelas:
Jangan buru-buru menutupi rasa, karena dari sanalah kita benar-benar hidup.
Semua hal itu membuat Call Me By Your Name terasa personal dan universal sekaligus. Setelah menontonnya, kamu mungkin nggak cuma inget Elio dan Oliver, tapi juga seseorang di masa lalu yang sempat membuatmu merasa “hidup.”
Baca Juga, Yah! Grave of the Fireflies (1988) Film yang Nggak Boleh Di-rewatch!
Daftar Pemeran Call Me By Your Name
Setelah tahu kisah dan emosinya, sekarang saatnya kenalan sama para pemeran yang bikin Call Me By Your Name terasa begitu hidup dan hangat di layar:
- Timothée Chalamet – Elio / Elio Perlman
- Armie Hammer – Oliver
- Michael Stuhlbarg – Mr. Perlman / Samuel Perlman
- Amira Casar – Annella Perlman (ibu Elio)
- Esther Garrel – Marzia
- Vanda Capriolo – Mafalda
- Antonio Rimoldi – Anchise
- André Aciman – Mounir (cameo tanpa kredit)
Sebuah Cinta yang Abadi di Musim Panas
Call Me By Your Name adalah perjalanan menemukan diri, memahami kehilangan, dan merayakan kenangan yang membekas. Lewat mata Elio dan Oliver, kita diajak merasakan indahnya cinta pertama yang lembut tapi meninggalkan luka manis.
Nuansa Italia yang hangat, musik yang sendu, dan dialog yang tulus menjadikan film ini terasa begitu nyata dan sulit dilupakan. Kalau kamu termasuk yang suka cerita penuh emosi dan makna tersembunyi, jangan berhenti di sini, ya, LemoList!
Yuk, jelajahi lebih banyak berita film dan series menarik lainnya di Lemo Blue — tempat kamu bisa menemukan kisah, analisis, dan rekomendasi yang bikin nonton terasa lebih berwarna.